Banjarbaru, derapjurnalis.com
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Senior Partner INTEGRITY Law Firm
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia
Beberapa bertanya ke saya. Mengapa kami masih mengajukan gugatan sengketa hasil Pemilihan Walikota (Pilwali) Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ke Mahkamah Konstitusi (MK)? Tulisan singkat ini didedikasikan untuk menjawabnya. Banjarbaru adalah Ibu Kota baru Kalimantan Selatan, setelah UU Nomor 8 Tahun 2022 memindahkannya dari Banjarmasin.
Pasca Sabtu, 19 April diadakan Pemungutan Suara Ulang (PSU), pada Rabu, 23 April, Tim Hukum Banjarbaru HANYAR (Haram Manyarah) memasukkan permohonan sengketa ke MK. Mengapa?
Jawaban singkatnya, ini adalah “Jihad Konstitusional” yang fardhu kifayah wajib dilakukan. Tiga alasan utamanya adalah, alasan pribadi, konstitusi, dan reliji.
Alasan personal-pribadi ke MK adalah, saya sendiri punya ikatan emosional dengan Banjarbaru. Setelah lahir di Pulau Laut, Kotabaru, lalu sempat berpindah ke Desa Andai, Manokwari, sekarang Papua Barat; SD hingga SMA saya lulus di Banjarbaru, sebelum merantau dan tinggal di Yogyakarta, Jakarta, Amerika hingga Australia. Banjarbaru tetap menjadi kota asal saya. Hingga sekarang, Ibu dan adik-adik saya tinggal di Banjarbaru. KTP saya, setelah berpindah lebih 15 kali, dalam rentang usia pernikahan 25 tahun, adalah di Banjarbaru. Tegasnya, saya adalah pemilih di Pilwali Banjarbaru.
Itu sebabnya, saya pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur dalam Pilgub 2020—2021 lalu, sebagai putra Banua Kalsel. Dimenangkan MK, yang memerintahkan PSU, saya menyoal lagi hasil PSU ke MK, karena maraknya politik uang dan politik curang. Meskipun, MK tidak memeriksa pokok perkara, padahal kami menyiapkan ribuan alat bukti. MK hanya memutuskan tidak menerima (niet onvarkelijk), karena selisih suara yang melebihi ambang batas. Atas putusan MK yang demikian, meskipun tidak sependapat, karena meyakini memang nyata ada kecurangan, saya menerima putusan itu, dan tidak mengambil langkah hukum apapun lagi. Tapi, perjuangan kami lakukan sampai ujung jalan yang dimungkinkan oleh aturan main bernegara.
Itu pula alasan mengajukan hasil PSU Pilwali Banjarbaru ke MK lagi. Sebagai bentuk konsistensi perjuangan melawan kedzaliman dalam banyak pemilu kita, dimana daulat rakyat (demokrasi) sudah dikalahkan dengan daulat duit (DUITokrasi).
Pintu masuk menyoalnya sudah disediakan oleh UUD 1945, yaitu sengketa hasil di MK. Jaminan konstitusional itulah alasan kami yang kedua, alasan konstitusi.
Apakah dalam PSU di Banjarbaru ada kecurangan dan politik uang (electoral frauds)? Saya meyakini nyata-ada, dengan berbagai bukti dan indikasinya. Kalau pian (anda) meyakini sebaliknya, maka forum yang tepat untuk memeriksa, membuktikan, dan memutuskannya hanyalah MK.
Putusan MK yang memerintahkan PSU di Banjarbaru jelas menunjukkan pelaksanaan pemungutan suara pada 27 November 2024 bukanlah pemilu yang jujur dan adil (free and fair election). Suara pemilih yang seharusnya bermakna, sengaja disimsalabim oleh KPU Kota Banjarbaru menjadi suara tidak sah. Menguatkan putusan MK itu, empat komisioner KPU Banjarbaru dipecat dari jabatannya melalui putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Tanpa perlawanan di MK, melalui empat gugatan warga dan pemantau, daulat rakyat Banjarbaru sudah kalah bertekuk lutut sejak awal. Tapi, segelintir orang melakukan perjuangan, dan akhirnya menghadirkan PSU sebagai langkah koreksi demokrasi di Banjarbaru.
Perlawanan yang bukan tanpa risiko. Tiga hari sebelum putusan MK pada Senin 24 Februari, di hari Jumat 21 Februari Ketua Yayasan Visi Nusantara (Vinus), pemantau yang mengajukan gugatan di MK, dipanggil Bareskrim Polri. Menjelang putusan, beberapa orang polisi terus mendesakkan pemeriksaan dan mendatangi kantor Vinus. Beberapa pihak dipanggil, tidak terkecuali istri sang ketua yayasan, ikut diperiksa polisi.
Selain intimidasi kasus (kriminalisasi), berbagai rayuan iming-iming disodorkan. Untungnya kami tidak goyah, hingga putusan MK menjadi pintu yang membuka pelaksanaan PSU. Meskipun, kali ini Vinus tidak lagi maju sebagai pemohon, terima kasih tetaplah harus disampaikan, di samping pemahaman bahwa mereka tentu mendapatkan tekanan yang sangat kuat bin berat.
Pertanyaannya, apakah PSU dilaksanakan dengan jujur dan adil? Jika iya, tidak perlu ada Langkah hukum ke MK. Sayangnya, jawabannya, tidak.
Bukti video Ghimoyo, Presiden Dozer, bahwa mereka menyiram 75 ribu pemilih, dengan kalkulasi mendapatkan jaminan kemenangan, setelah suara dikurangi “margin of error” 20%, adalah bukti pengakuan, sekaligus indikasi bahwa “politik siraman uang” menjadi strategi utama kemenangan Paslon 01, Lisa Halaby—Wartono. Meskipun jejak video itu coba dihilangkan, tangan Tuhan telah menyimpannya melalui berbagai platform social media yang sudah terlanjur viral.
Keterlibatan Ghimoyo yang tidak lain adalah CEO Johnlin Group, menunjukkan adanya atensi Haji Isam. Sang crazy rich yang sudah menjadi rahasia umum kekuatan logistiknya dalam banyak pemilu nyaris tidak terbatas, sekaligus jaminan dan dukungan bagi kemenangan Lisa-Wartono.
Bagaimana pola pembagian dana siraman, apakah melibatkan oknum negara hingga wilayah rukun tetangga, adalah materi yang perlu dibuktikan dalam persidangan terhormat Mahkamah Konstitusi.
Yang pasti Tim Hukum HANYAR (Haram Manyarah) memilih untuk terus membawa persoalan ini ke ranah hukum yang dijamin konstitusi sebagai hak perlawanan, bukan melalui teriakan buzzerRp berbayar di social media, ataupun tindakan anarkis di jalanan.
Alasan ketiga berbasis reliji.
Sebagai wilayah yang mengaku relijius, harusnya Banjarbaru dan Kalsel, menutup pintu rapat-rapat dari maraknya praktik haram suap-menyuap dalam pemilu. Terlalu banyak pengajian dan Guru (alim ulama) yang sudah mengingatkan bahwa serangan fajar (vote buying) adalah modus suap yang ganjarannya tidak ada yang lain kecuali neraka.
Kalau ada pemimpin daerah, eksekutif ataupun legislatif, lokal ataupun nasional, yang menang dengan cara curang dan menyiram uang, maka kemenangannya wajib dibatalkan. Rumusnya sederhana: Yang Curang Tidak Boleh Menang!
Kalau diargumenkan, berilah kesempatan untuk menjalankan amanah, jangan diganggu. Itu pun argumentasi yang mengada-ada. Kalau cara menerima amanahnya adalah dengan modus suap menyiram uang, yang dihasilkan bukan kemanfaatan, tapi pasti kemudharatan.
Pemimpin yang terpilih dengan membeli suara, dalam analogi saya adalah orang yang tidak sah sholatnya sejak berwudhu. Tidak pernah ada sholat yang sah, kalau wudhunya batal.
Jika ingin menjadi pemimpin yang amanah, maka sejak mencalonkan diri, wudhunya harus sah. Wudhu yang tercemari dengan suap-menyuap amplop serangan fajar, menghasilkan pemimpin yang tidak mungkin menjadi imam sholat. Sholatnya sudah batal sejak wudhu!
Kalau ingin melawan, perjuangkan transparansi anggaran,jangan ke MK, katanya. Pertanyaannya, bagaimana memperjuangkan transparansi anggaran, kalau sejak mencalon anggaran suap-menyuap sudah menjadi tarikan nafas dan pedoman tingkah laku?
Kalau mau melawan oligarki perbaiki Pendidikan, katanya. Pertanyaannya, bagaimana melakukan pendidikan, kalau jual-beli suara dari uang mafia tambang oligarki, dijadikan tontonan contoh-tauladan seolah-olah cara paling benar untuk menang, dan kita tidak pernah melawan?
Jangan habiskan anggaran untuk pemilu ulang, katanya. Lalu, kita kemarin tidak ke MK dan minta PSU? Lalu, kita biarkan saja suara pemilih dirampok dan dinyatakan tidak sah? Lalu, kita biarkan juga siraman uang kepada pemilih menentukan kemenangan PSU pemimpin Banjarbaru?
Lebih baik keluar dana di awal, ketimbang salah memilih pemimpin yang tidak Amanah, dan akhirnya mengelola anggaran secara koruptif. Sudah banyak cerita-fakta, pemimpin yang terpilih dari cara kotor suap-menyuap pemilu, ujungnya menjadi koruptor berbaju tahanan oranye di KPK.
Maka, mengajukan perlawanan ke MK adalah “jihad konstitusional” yang wajib dilakukan.
Bukan karena kita menolak siapapun, bukan karena persoalan suka tidak suka kepada pribadi orang-perorang. Bukan pula soal dukung atau tidak mendukung Lisa Halaby – Wartono. Tetapi, persoalannya jauh lebih prinsip. Karena kita memperjuangkan pemilu yang tanpa suap. Karena kita merindukan pemimpin yang amanah, yang hadir tanpa seruan: Ratakan! Yang ternyata adalah pemerataan penyiraman uang kepada pemilih semata!
Akhirnya, setiap perjuangan itu ditandai dengan niat. Cara mengujinya mudah dan sederhana. Biasanya anggarannya kurang, sebab tidak ada penyandang dana ataupun sponsornya.
Itulah perjuangan kami di MK. Berisiko ditukari (dibeli), dikriminalisasi, atau bahkan dihabisi. Tetapi kami akan terus maju, walaupun berpatungan modal, rupiah demi rupiah. Walaupun kurang tidur melembur dokumen dan bukti-bukti sidang. Sorry ye, duit pian kada payu di tim kami (Maaf ya, uang anda tidak bisa membeli kami).
Yang kami minta dari pian-pian dangsanak (saudara-saudara) di Banjarbaru, doakan kami tetap sehat dan kuat, karena perjuangan ini pasti tidaklah mudah, penuh tanjakan, kelokan, dan ancaman. Insya allah kami kada bemunduran (tidak akan mundur). Karena, menurut prinsip tauhid, takut hanya kepada Allah SWT, bukan kepada makhluk.
HARAM MANYARAH!