derapjurnalis.com
(Ambin Demokrasi)
Tahun 1964, kira-kira setahun sebelum peristiwa Gerakan 30 September, Bung Karno dalam pidato Kenegaraan pada Peringatan HUT RI ke 19, memperkenalkan ungkapan Vivere Pericoloso, satu frasa dalam bahasa Italia yang berarti “hidup menyerempet bahaya”.
Memang waktu itu, dengan segala situasi Indonesia yang penuh dinamika, ungkapan ini sangat relevan. Tidak mungkin bisa mengatasi berbagai masalah dan menjawab segala dinamika, bila bersikap dan bertindak datar-datar saja. Apalagi bersikap dan bertindak pragmatis, hanya mencari untung untuk diri sendiri. Tidak mau mengambil resiko, bahkan menghindari hal-hal yang dianggap berbahaya.
Begitu kuatnya ungkapan Vivere Pericoloso yang disampaikan Bung Karno kala itu, hingga pada tahun 1978, menginspirasi Cristopher Koch, seorang penulis Australia untuk mengarang sebuah novel yang sangat berpengaruh, bertema The Year of Living Dangerously. Novel tersebut kemudian di tahun 1982 dijadikan film dengan judul yang sama, dibintangi artis-artis terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Weaver dan Linda Hut.
Sekarangpun, ungkapan Vivere Pericoloso terasa kembali aktual, terutama ketika banyak yang bersikap pragmatis terhadap berbagai kenyataan yang harus disuarakan secara lantang. Apalagi saat bersinggungan dengan kekuasaan dan modal. Diperlukan keberanian bersuara, karena pasti berhimpitan bahaya.
Siapa yang mau dan berani menyuarakan hal-hal yang meresahkan seperti judi online dan game online yang menjadi satu skenario dengan pinjaman online, sehingga menjadi jebakan yang memiskinkan bagi Warga?
Siapa lagi yang berani meneriakkan kejahatan lingkungan akibat pertambangan yang sudah terasa biasa dan wajar?
Siapa yang mau bersuara soal kriminalisasi UMKM, ketika berhadapan dengan Aparat Hukum yang merasa punya kuasa dan daya untuk menggalang opini dan menghakimi? Dan siapa yang terus menyuarakan berbagai kebijakan korup dan tindakan nepotisme, yang hanya memperkaya Elit Penguasa?
Menyuarakannya berarti “hidup menyerempet bahaya” – Vivere Pericoloso, karena akan ada perlawanan massif dari Penguasa dalam bentuk mobilisasi suara, produksi konten tandingan, dengan melibatkan orang-orang yang dianggap dapat membentuk opini di tengah Warga, termasuk menggunakan mulut Agamawan dan Akademisi. (nm)