Banjarmasin, derapjurnalis.com-Bagaimanakah kemerdekaan beragama di usia Indonesia yang sudah memasuki 80 tahun ini? Apakah semua Kelompok Umat Beragama sudah merasa Merdeka dalam menjalankan Agama dan Keyakinannya? Kapan seluruh Umat benar-benar dapat merayakan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan. Bebas dari rasa takut, bebas dari diskriminasi, bebas dari stigma mayoritas - minoritas, dan bebas mendirikan Tempat Ibadah sesuai kebutuhan Umatnya.
Bagaimana wajah kemerdekaan beragama tercermin dalam Indeks Kota Toleran? Mungkinkah Kota Banjarmasin menjadi contoh bagi Kalimantan Selatan dalam mewujudkan Kota Toleran? Dapatkah Banjarmasin masuk dalam 10 besar Kota Toleran di Indonesia? Apa kendalanya? Bagaimana memperjuangkannya? Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan Panitia Bersama antara FKUB Kalimantan Selatan, LK3 Banjarmasin dan Vihara Dhammasoka. Sehingga Dialog Refleksi Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan diselenggarakan dengan mengundang Halili Hasan, Direktur Setara Institute dan Ilham Masykuri Hamdie, Ketua FKUB Kalimantan Selatan, Sabtu, 16 Agustus 2025 di Aula Vihara Dhammasoka Jl Piere Tendean Banjarmasin.
Rupanya, sekalipun sudah merdeka 80 Tahun, merayakan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, masih menjadi persoalan. Berbagai isu internal Agama, antar Agama, antara Agama dan Negara, seperti suatu persoalan yang tidak kunjung selesai.
Ilham Masykuri Hamdie selaku Ketua FKUB Kalimantan Selatan, memaparkan tentang pemikiran Cak Nur tentang Makna dan Hakekat Kemerdekaan. Melalui Pemikiran Cak Nur itu Ilham sepertinya mengajak berefleksi, bahkan hakikat dari kemerdekaan itu pada dasarnya adalah kemauan untuk membangun toleransi dan menolak segala bentuk radikalisme.
Selama ini data toleransi kurang menggembirakan. Masih Kita dengar pelarangan pendirian Rumah Ibadah ataupun pelarangan pelaksanaan aktivitas keagamaan. Karena itu semua kita, terutama Majelis Agama, harus memperkuat literasi, mencoba passing-over, speak-up terhadap keadaan, melakukan Dialog Karya Bersama, menyediakan katup-katup pengaman di Akar Rumput, dan terus membangun ekosistem toleransi, kata Ilham Masykuri Hamdie.
Sementara itu, Halili Hasan, Direktur Setara Institute, mengatakan, toleransi mesti dibangun secara bersama, sebab toleransi merupakan etika kolektif dari seluruh Umat Beragama. Toleransi, adalah cermin masa depan kolektif.
Kebebasan beragama yang berkeyakinan, bukan keinginan saya atau Kita Para Pegiat Toleransi, tapi keinginan bersama yang dirumuskan Para Pendiri Bangsa, menjadi Hak Konstitusional setiap Warga Negara. Pasal 28E ayat (1), dan pasal 29 ayat (2), menyatakan dengan tegas menjamin bagi tiap-tiap Orang dalam Beragama, kata Halili.
Sekali lagi, kita punya modal sosial yang sangat besar agar supaya dapat hidup lebih toleran. Kita punya budaya gotong royong, budaya jujur, tenggang rasa, solidaritas, dan lain-lain. Sayangnya modal tersebut dari waktu ke waktu terus kita gerus, kita kerdilkan, sehingga yang terjadi justru intoleransi. Nilai kejujuran yang begitu luhur, kita hancurkan melalui korupsi yang terjadi di semua lini.
Mungkin kita layak belajar pada Negara Ethiopia, dulu Negara ini sangat terkebelakang. Bahkan karena begitu miskinnya, pernah kita sumbang dalam bentuk gabah, agar Mereka terbebas dari kelaparan. Sekarang persepsi tentang Ethiopia harus diubah, termasuk lagu terkenal yang dibuat Iwan Fals tentang Ethiopia yang begitu tragis, juga harus diubah. Sekarang ia menjadi Negara yang paling tinggi dalam soal toleransi, bahkan menjadi negara paling maju di Afrika. Kenapa bisa demikian? Karena Ethiopia mampu merawat modal sosial mereka.
Indeks Kota Toleran (IKT), adalah upaya membangun praktik konserpatisme menjadi inklusif. semua Orang baik Pemerintah maupun Masyarakat Sipil, harus berusaha mewujudkannya. Dan bila terjadi tindak intoleransi, Aparat Penegak Hukum harus cepat bertindak. “Ketiadaan Penegakkan Hukum merupakan undangan tindak kejahatan berikutnya”, kata Halili, menegaskan dalam paparannya.
Sejumlah Peserta yang terdiri dari Para Tokoh Agama, Pegiat Toleransi, Mahasiswa dan Para Legiun Veteran, mendengarkan dengan hikmat paparan Narasumber. Pada sesi tanya jawab, ketika Moderator Reni Tampubolon memberikan kesempatan, sejumlah Orang mengacungkan tangan ingin bertanya dan memberikan tanggapan.
Darius Dubut, Tokoh Kristen yang juga Aktivis Dialog, mengatakan, kalau level Kita masih pada tahap toleransi, sesungguhnya hal tersebut menyimpan status quo, belum sampai pada keinginan untuk saling menerima satu sama lain. Bagaimana toleransi bisa dibangun, ditengah ketidakadilan struktural yang begitu lebar? Kita mesti membangun kesadaran pro eksistensi, agar mengada bersama, saling hadir secara otentik. Terus membangun Dialog yang lebih bermakna, misal dengan Ngopi Bersama Para Tokoh Agama, dan membangun literasi keberagaman, termasuk melakukan advokasi, mediasi atas konflik.
Sementara itu Supriadi dari Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), menanyakan tentang mana yang lebih dahulu dilakukan, habluminanas (hubungan dengan manusia), ataukah habluminallah (hubungan dengan Allah)?
Patrawai Kumari, Dosen UIN Antasari, menanyakan soal apa pentingnya indeks toleransi bila hanya sebatas prestasi yang berujung penganugerahan serimionial. Sementara kehidupan yang sebenarnya tidak mencerminkan toleransi yang sesungguhnya. Mestinya yang harus dibangun adalah toleransi senyatanya dalam bentuk kesadaran hidup dalam keragaman.
Halili Hasan kemudian memberikan tanggapan, toleransi tidak dibatasi definisi-definisi yang sangat terbatas, tapi bagaimana kebersamaan yang dibangun mampu menghilangkan segala sekat perbedaan. Toleransi tidak sekedar menahan diri, tapi juga kemauan untuk bekerjasama. Halili kemudian memberikan contoh 5 Kota dengan angka tolensi tertinggi, yang ternyata memberi dampak bagi kemajuan ekonomi, investasi, pariwisata, termasuk kemajuan dalam pendidikan dan penghormatan pada semua orang yang berbeda.
Setelah Dialog dan Refleksi, acara dilanjutkan dengan pemberian bingkisan kepada Legiun Veteran dan Anak-anak Yatim dari sejumlah Panti Asuhan dan Komunitas. Bingkisan dihimpun dari Para Tokoh Umat Budha Vihara Dhammasoka dibawah Pimpinan Banthe Shaddaviro Mahatera. Para Tokoh Agama dari berbagai Agama, memberikan bingkisan kepada Legiun Veteran dan Anak Panti, sebagai bentuk berbagi tanda syukur 80 tahun Indonesia Merdeka. (nm)