Banjarmasin, derapjurnalis.com - Eksistensi Manusia sebagai Makhluk Ciptaan Allah SWT dan Potensi Diberikan-Nya.
Manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk paling mulia diantara ciptaan-Nya, dilengkapi dengan potensi spiritual, akal, hati, dan jiwa (ruh) yang saling mempengaruhi dalam membentuk eksistensi manusia seutuhnya. Pada tahap paling konkret, manusia dianugerahi potensi biologis tubuh fisik yang sehat dan keseimbangan jasmani.
Dalam tulisannya, Dr H Jarkawi MMPd mengatakan, namun, lebih dalam dari fisik itu, terdapat potensi akal (aqli), hati (qalb), jiwa (nafs), dan ruh yang mampu menggali makna, nilai, pengendalian emosi, serta hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Akal (ta’aqqul) berfungsi untuk mengintrospeksi dan memahami keberadaan serta hikmah kehidupan.
"Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berpikir, merenung, menafsirkan tanda-tanda ciptaan Allah sebagai bentuk Tafakkur," kata Jarkawi.
Dengan Tafakkur, menurut Jarkawi, manusia dapat menyadari kebesaran serta hikmah dari tiap kejadian, mempererat ikatan spiritual dengan Allah, serta memperkuat kapasitas untuk membedakan yang baik dan buruk secara moral. Ketika akal dipadukan dengan kepedulian hati (hati nurani), ia menjelma menjadi higher order thinking skills dimana kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan kreatif yang berlandaskan nilai spiritual.
Potensi spiritual (spiritual quotient, SQ) menjadi landasan bagi proses koneksi batin yang mendalam. Studi oleh Choliq, et al. (2025) menemukan, Guru dengan SQ tinggi mampu membangun hubungan empatik dan tulus dengan Siswa, menciptakan iklim belajar yang aman dan memotivasi Siswa secara intrinsik. Ini memperkuat keyakinan, spiritualitas bukan sekadar doktrin, melainkan fondasi interaksi dan pembentukan karakter yang bermakna. Selain dari pada itu Madrasah Pembangunan UIN Jakarta menunjukkan, kebudayaan religius di Sekolah melalui aktivitas ibadah berjamaah, akhlak baik maupun tata krama antar Siswa dan Guru secara signifikan berkontribusi (koefisien beta = 0,372 atau 37 %) dalam pengembangan kecerdasan spiritual Siswa (Nashihin, 2023). Lingkungan seperti ini memfasilitasi Siswa mewujudkan potensi spiritual Mereka secara nyata, bukan hanya teori Potensi manusia juga mencakup kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ), sebagai mekanisme pengelolaan stres, regulasi emosi, dan interaksi sosial yang efektif. Fanani, et.al (2024) mengukapkan pada penelitiannya di SMAN 1 Kedamean yang dimana membuktikan adanya hubungan positif yang kuat antara EQ tinggi dan penurunan stres akademik (r = –0,386; p = 0,000), menunjukkan, Siswa dengan EQ baik cenderung lebih tahan terhadap tekanan akademik dan sosial. Di sisi lain, Khasanah, Na'imah, & Dwiyanti (2024) menjelaskan, berpikir positif sebagai bentuk higher order thinking juga terbukti signifikan mengurangi stres Akademik Siswa MTs di Kebumen, meskipun dukungan sosial sebaya tidak berpengaruh langsung.
Semua potensi seperti akal, spiritualitas, hati, emosional mewakili modal manusia yang dipersiapkan Allah untuk menjadi Khalifah di muka bumi.
"Mereka yang mampu mengintegrasikan potensi tersebut dalam diri mereka bukan hanya cerdas secara Akademik, melainkan juga bermoral, penuh empati, dan mampu menjawab tantangan global abad ke 21 dengan kesadaran etis dan spiritual," Jarkawi menambahkan.
B. Problem Olah Hati Manusia dan Hubungannya dengan LOTS dan HOTS
Fenomena melemahnya olah hati di kalangan Remaja, khususnya Siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), menjadi perhatian serius dalam praktik bimbingan dan konseling saat ini.
Guru BK di berbagai Sekolah secara nyata menyaksikan bagaimana sebagian besar Siswa mengalami kesulitan dalam membedakan nilai baik dan buruk secara reflektif, menunjukkan empati terhadap sesama, serta memunculkan motivasi intrinsik untuk bertindak sesuai hati nurani, bukan sekadar karena pengawasan eksternal. Hal ini mengindikasikan, olah hati, sebagai kemampuan untuk meresapi, menyadari, dan mengelola nilai dalam diri, belum berkembang optimal.
Dalam praktiknya, Siswa yang minim olah hati cenderung menunjukkan perilaku yang reaktif, tidak bertanggung jawab atas pilihan moralnya, dan mudah terpengaruh oleh tekanan sosial.
"Banyak dari mereka yang hanya mengikuti arus atau meniru tindakan teman tanpa proses internalisasi nilai yang matang. Misalnya, tindakan seperti membuli, mengejek, atau menyebar gosip sering kali dianggap sebagai hal lumrah, karena tidak disertai kemampuan merenung dan memahami dampaknya terhadap orang lain," ungkap Jarkawi.
Hal ini kata Jarkawi, menunjukkan adanya krisis dalam kesadaran batin siswa, yaitu hilangnya kemampuan untuk merasakan bahwa suatu tindakan memiliki dimensi etis dan spiritual.
Kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari karakteristik sistem pendidikan kita yang masih sangat dominan menekankan aspek Lower Order Thinking Skills (LOTS). LOTS mencakup kemampuan mengingat, memahami secara permukaan, dan menjawab pertanyaan secara prosedural. Pola berpikir ini kerap terbentuk melalui sistem pembelajaran yang menekankan hafalan, jawaban tunggal, serta penilaian berbasis angka semata. Dalam konteks ini, Siswa diajarkan untuk mencari “jawaban benar” alih-alih memahami “mengapa itu benar” dan “apa dampaknya bagi kehidupan”.
Sebaliknya, pengembangan Higher Order Thinking Skills (HOTS) menuntut Siswa untuk melakukan analisis, sintesis, evaluasi, dan refleksi kritis.
"HOTS tidak sekadar mengandalkan kecerdasan logis, tetapi juga melibatkan dimensi etis dan spiritual," Jarkawi menegaskan.
Inilah yang sering terabaikan, berpikir tingkat tinggi seharusnya menyatu dengan kesadaran nilai dan kedalaman hati.
Tanpa keterlibatan hati, kemampuan berpikir kritis bisa menjadi kering, mekanistik, dan bahkan manipulatif. Di sinilah letak pentingnya konseling yang bukan hanya berfokus pada kognisi, tetapi juga pada spiritual reasoning yang menyentuh kesadaran terdalam Peserta Didik.
"Sebagai Konselor, Kita sering menemui Siswa yang secara Akademik mampu menyelesaikan soal-soal sulit, tetapi gagal memahami konsekuensi moral dari perilakunya. Sebaliknya, ada pula Siswa yang secara nilai sangat kuat dan bertanggung jawab, meskipun nilai Akademiknya biasa saja. Ini menunjukkan, akal dan hati harus dibina secara bersamaan," jelas Jarkawi.
Disebutkan, ketika akal dibiarkan berjalan sendiri tanpa bimbingan hati, maka pengetahuan bisa digunakan untuk tujuan yang merusak. Namun jika hati berkembang tanpa didampingi kemampuan berpikir logis, maka bisa muncul sikap pasrah yang buta dan fatalistik. Keduanya harus berjalan seiring dalam pendidikan.Masalahnya, kebanyakan sistem pendidikan belum menyiapkan ruang yang cukup untuk menumbuhkan kesadaran batin melalui proses pembelajaran. Ruang kelas lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan target kurikulum, sementara waktu untuk merenung, berdiskusi secara nilai, atau mengevaluasi perilaku berdasarkan prinsip moral sangat terbatas.
Maka tidak mengherankan jika kemampuan olah hati Siswapun turut terpinggirkan. Dalam suasana seperti ini, peran konseling menjadi semakin penting dan strategis. Konseling kelompok berbasis Spiritual-Reflektif, dengan integrasi teknik Tafakkur dan ta’aqqul, menawarkan solusi yang kontekstual dan substantif terhadap persoalan ini.
Dalam sesi yang dirancang secara khusus, siswa diajak untuk melakukan perenungan terhadap kehidupan diri, makna tindakan, serta hubungan Mereka dengan Tuhan dan sesama. Melalui Tafakkur, Siswa belajar merenungi keberadaan dirinya, peran dalam kehidupan, serta hikmah dari berbagai peristiwa yang dialami.
Perenungan ini membuka ruang batin agar siswa tidak hanya bertanya “apa yang terjadi”, tetapi juga “apa makna di balik semua ini”.
Sementara itu, Teknik Ta’aqqul membantu Siswa menggunakan potensi akalnya untuk menyusun pemahaman secara logis dan menyeluruh terhadap realitas yang Mereka hadapi. Dengan pendekatan ini, Siswa dilatih untuk berpikir tidak hanya berdasarkan insting atau kebiasaan, tetapi melalui proses penyimpulan, pertimbangan nilai, dan kesadaran moral.
Dalam praktiknya, konselor dapat menggunakan studi kasus moral, diskusi kelompok reflektif, serta Jurnal Pribadi sebagai instrumen untuk membimbing Siswa ke arah olah pikir yang etis dan reflektif. Pendekatan ini sangat relevan untuk menjembatani LOTS menuju HOTS yang berakar pada nilai. Ketika siswa diajak untuk berpikir kritis berdasarkan perenungan nilai, maka hasilnya bukan hanya cerdas, tetapi juga bijak. Di sinilah terjadi sinergi antara Ta’aqqul dan Tafakkur, antara akal dan hati, yang menjadi pondasi penting dalam pembentukan karakter dan integritas moral.
Konseling dengan pendekatan spiritual-reflektif ini juga memiliki kontribusi besar terhadap kesehatan mental dan emosional Siswa. Siswa yang terbiasa melakukan refleksi nilai memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap tekanan sosial, tidak mudah terbawa arus, serta lebih mampu memaknai kegagalan dan tantangan hidup secara positif. Refleksi diri yang sehat melatih regulasi emosi dan empati terhadap orang lain, yang secara langsung berdampak pada iklim sosial di Sekolah.
Kita menyadari bersama, persoalan rendahnya HOTS ini tidak bisa diselesaikan hanya melalui revisi kurikulum atau metode pembelajaran berbasis proyek. Akar dari problem ini terletak pada minimnya ruang kontemplatif dalam pendidikan, dan inilah yang harus dipulihkan. Konseling menjadi ruang tersebut. Ruang di mana Siswa bukan hanya diajak berpikir, tetapi juga merasakan, merenung, dan menyadari siapa dirinya serta ke mana ia menuju.
Oleh karena itu, pendekatan konseling yang hanya teknis dan prosedural tidak akan cukup. Kita perlu membangun pendekatan yang menyentuh spiritualitas Siswa secara langsung, mengaktifkan kesadaran batin, dan menumbuhkan integritas moral. Integrasi Tafakkur dan Ta’aqqul bukanlah sekadar metode Islami, tetapi kebutuhan fundamental untuk membentuk manusia utuh dalam dunia yang semakin kompleks dan serba cepat. Akhirnya, penguatan olah hati dan HOTS tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling terikat, unik, dan bermakna bagi kemajuan pendidikan. Meningkatkan kemampuan berpikir tanpa menumbuhkan kedalaman hati hanya akan mencetak manusia cerdas yang kosong. Sebaliknya, menumbuhkan olah hati tanpa melatih kemampuan berpikir akan menjadikan manusia yang mudah terombang-ambing. Keseimbangan keduanya hanya bisa dicapai melalui pendekatan yang mengintegrasikan akal dan hati, logika dan nilai, sains dan spiritualitas dan inilah hakikat dari Konseling Kelompok Spiritual-Reflektif.
C. Integrasi Nilai Spiritual dalam Pengembangan HOTS, Kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills / HOTS) telah menjadi salah satu fokus utama dalam pendidikan abad ke-21. HOTS menuntut Siswa untuk tidak hanya menghafal atau memahami informasi, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi kreatif. Namun, perkembangan HOTS sering kali hanya diarahkan pada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan spiritual belum banyak disentuh. Padahal, kemampuan berpikir kritis yang tidak dilandasi nilai-nilai moral dan spiritual, dapat berisiko menumbuhkan pola pikir yang kering, pragmatis, bahkan manipulatif.
Integrasi nilai spiritual dalam pengembangan HOTS, menjadi penting karena spiritualitas berfungsi sebagai kompas moral dalam setiap proses berpikir.
"Dalam tradisi Islam, konsep Tafakkur (merenung) dan ta’aqqul (menggunakan akal secara etis) merupakan bentuk konkret dari berpikir tingkat tinggi yang berakar pada nilai spiritual," tegas Jarkawi lagi.
Dengan demikian, menurut Jarkawi, pembelajaran HOTS tidak hanya menghasilkan Siswa yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan etis dan religius.
Nilai-nilai spiritual seperti syukur, sabar, ikhlas, dan amanah dapat memperkuat dimensi reflektif dalam berpikir.
Misalnya, ketika Siswa dihadapkan pada studi kasus lingkungan, Mereka tidak hanya diminta untuk menganalisis data, tetapi juga merenungi tanggung jawab moral dan spiritual mereka sebagai Khalifah di bumi. Hal ini sejalan dengan pandangan, integrasi spiritual mampu meningkatkan kepekaan moral dan kesadaran ekologi Siswa (Kurniawan, 2022). Selain itu, pengembangan HOTS yang berbasis nilai spiritual dapat membantu siswa membangun motivasi intrinsik. Siswa tidak lagi belajar semata-mata untuk mendapatkan nilai Akademik, tetapi juga untuk memahami makna kehidupan dan kontribusi sosial. Motivasi intrinsik ini terbukti memiliki pengaruh besar terhadap daya tahan Siswa dalam menghadapi tantangan belajar dan kehidupan (Fitriyani, 2023). Dengan demikian, integrasi spiritual dalam HOTS dapat memperkokoh ketangguhan mental sekaligus membentuk orientasi belajar yang bermakna.
Pendekatan ini juga sejalan dengan teori transformative learning, dimana refleksi kritis digunakan untuk membongkar asumsi lama dan membangun kerangka berpikir baru yang lebih bermakna. Dalam konteks spiritual, transformasi ini bukan hanya menyentuh dimensi kognitif, tetapi juga dimensi batin yang lebih dalam.
Hasil penelitian terbaru menunjukkan, pembelajaran yang mengintegrasikan refleksi spiritual dapat meningkatkan empati, resiliensi, dan keterampilan berpikir kritis Siswa secara simultan (Siregar, 2024). Integrasi spiritual dalam HOTS menegaskan, berpikir kritis tidak dapat dipisahkan dari dimensi etis.
"Ketika Siswa diajarkan untuk mengevaluasi suatu persoalan, Mereka juga diarahkan untuk mempertimbangkan nilai kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan," Jarkawi kembali menegaskan.
Dengan cara ini, kata Jarkawi, HOTS bukan hanya menjadi keterampilan intelektual, tetapi juga sarana pembentukan karakter. Pendidikan yang demikian akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermoral dan berintegritas. Dalam praktiknya, Guru dapat mengintegrasikan nilai spiritual dalam HOTS melalui berbagai strategi, seperti diskusi reflektif, studi kasus berbasis nilai, maupun penulisan Jurnal spiritual. Misalnya, dalam pelajaran sains, Siswa tidak hanya menganalisis fenomena alam secara ilmiah, tetapi juga merenungkan kebesaran Allah sebagai Sang Pencipta. Strategi ini memperluas makna HOTS dari sekadar kognisi menjadi sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dengan demikian, integrasi nilai spiritual dalam pengembangan HOTS merupakan sebuah keniscayaan dalam pendidikan modern. Hal ini tidak hanya menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual, tetapi juga mengembalikan tujuan pendidikan kepada hakikatnya : membentuk manusia yang utuh, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Pendidikan semacam ini diyakini mampu menjawab tantangan global, sekaligus menjaga identitas spiritual Bangsa.
1. Tafakkur sebagai Dasar Berpikir Kritis
Tafakkur merupakan proses perenungan mendalam terhadap fenomena kehidupan, baik alam maupun sosial, yang mengajak siswa untuk melihat makna di balik setiap peristiwa. Melalui tafakkur, Siswa dilatih bukan hanya untuk mengamati, tetapi juga untuk menghubungkan tanda-tanda ciptaan Allah (Ayat Kauniyah) dengan kebesaran-Nya. Misalnya, ketika melihat fenomena alam seperti hujan atau tumbuhan yang tumbuh, Siswa tidak sekadar mempelajari proses ilmiahnya, tetapi juga merenungkan kebijaksanaan dan rahmat Allah di balik kejadian tersebut. Proses ini menumbuhkan kesadaran, berpikir kritis bukan hanya soal menganalisis data, melainkan juga menyelami makna yang lebih dalam.
Dengan menjadikan tafakkur sebagai dasar, Siswa akan terbiasa mempertanyakan “mengapa” dan “untuk apa” sesuatu terjadi, bukan sekadar “apa” yang tampak di permukaan. Pola ini sejalan dengan esensi berpikir kritis, yaitu kemampuan mengevaluasi dan melihat persoalan dari berbagai perspektif. Dalam konteks pendidikan, Guru dapat menstimulus tafakkur dengan mengaitkan materi pelajaran pada realitas kehidupan dan ayat-ayat kauniyah. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis siswa berkembang dalam kerangka spiritual yang kokoh, sehingga hasilnya tidak hanya intelektual tetapi juga menumbuhkan kesadaran moral.
2. Ta’aqqul sebagai Dasar Analisis dan Evaluasi Ta’aqqul bermakna menggunakan akal secara rasional, sistematis, dan beretika dalam memahami realitas. Dalam pendidikan, ta’aqqul mengajarkan Siswa untuk mengolah informasi secara logis, melakukan analisis mendalam, serta mengevaluasi sebuah persoalan berdasarkan prinsip nilai dan spiritualitas. Misalnya, ketika Siswa dihadapkan pada kasus sosial seperti perundungan (bullying), Mereka tidak hanya diajak menganalisis dampak psikologisnya, tetapi juga diajak menimbangnya dalam perspektif akhlak dan tanggung jawab moral. Hal ini menjadikan analisis Mereka tidak kering, tetapi sarat makna etis.
Lebih dari itu, Ta’aqqul membimbing Siswa agar hasil evaluasi Mereka tidak hanya mencari kebenaran pragmatis, melainkan kebenaran yang bermanfaat dan sesuai tuntunan nilai Ilahi. Siswa belajar, berpikir analitis bukan sekadar soal benar atau salah, tetapi juga soal maslahat dan mudarat. Dengan demikian, ta’aqqul mengasah kemampuan Siswa untuk menjadi pemikir yang rasional sekaligus berhati nurani. Hal ini memperkuat peran HOTS dalam membentuk Manusia yang cerdas secara intelektual, adil dalam pertimbangan, dan berintegritas dalam setiap keputusan.
3. Nilai Syukur dan Sabar dalam Problem Solving. Dalam menghadapi tantangan akademik maupun kehidupan, nilai syukur dan sabar memiliki posisi penting sebagai fondasi resiliensi. Siswa yang menanamkan rasa syukur akan lebih mudah melihat sisi positif dari setiap keadaan, termasuk kegagalan sekalipun. Rasa syukur ini mendorong Siswa untuk menerima setiap pengalaman sebagai peluang belajar, bukan sebagai beban. Dengan cara ini, ketika menghadapi soal sulit atau hasil ujian yang kurang memuaskan, Siswa tidak larut dalam kekecewaan, melainkan tetap bersemangat memperbaiki diri.
Di sisi lain, sikap sabar mengajarkan Siswa untuk bertahan dalam proses pemecahan masalah tanpa mudah menyerah. Dalam konteks problem solving, kesabaran melatih Siswa menghadapi kesulitan dengan tenang, berpikir jernih, dan tetap fokus mencari solusi. Kombinasi syukur dan sabar ini membentuk daya lenting (resilience) yang tinggi, sehingga Siswa mampu menghadapi tantangan akademik dan sosial dengan lebih dewasa. Dengan demikian, problem solving tidak hanya melatih keterampilan berpikir kritis, tetapi juga menumbuhkan karakter tahan banting yang berakar pada nilai spiritual.
4. Doa dan Refleksi Diri sebagai Media Evaluasi. Doa dan refleksi diri dapat berfungsi sebagai media evaluasi yang melengkapi penilaian Akademik formal. Melalui doa, Siswa diajak menyadari keterbatasan diri dan memohon bimbingan Allah dalam setiap usaha. Hal ini menumbuhkan sikap rendah hati, pencapaian Akademik bukan semata hasil usaha Pribadi, tetapi juga anugerah Ilahi. Dengan demikian, doa menjadi ruang evaluasi spiritual yang membuat Siswa tidak mudah sombong ketika berhasil, dan tidak terlalu kecewa ketika gagal.
Refleksi diri, di sisi lain, membantu Siswa menilai perkembangan olah hati Mereka. Dalam praktiknya, refleksi dapat dilakukan dengan menulis Jurnal Harian, melakukan muhasabah, atau berdiskusi dalam kelompok reflektif. Proses ini memberi kesempatan bagi Siswa untuk meninjau kembali sikap, niat, dan perilaku Mereka, bukan hanya hasil Akademik.
Dengan cara ini, evaluasi pendidikan menjadi lebih utuh: mencakup capaian kognitif, pengendalian emosi, dan pertumbuhan spiritual. Doa dan refleksi diri menjadikan evaluasi bukan sekadar mengukur pengetahuan, tetapi juga mengukur kualitas hati dan karakter.
RINGKASAN
Manusia diciptakan Allah SWT sebagai Makhluk paling mulia dengan potensi biologis, akal, hati, jiwa, dan ruh yang membentuk eksistensinya secara utuh. Akal digunakan untuk berpikir, merenung, dan menafsirkan tanda-tanda Allah melalui Tafakkur, sehingga Manusia mampu membedakan yang baik dan buruk secara moral. Potensi spiritual menjadi dasar koneksi batin yang mendalam, terbukti melalui penelitian yang menunjukkan kontribusi religiusitas Sekolah terhadap pengembangan kecerdasan spiritual Siswa. Selain itu, kecerdasan emosional berperan penting dalam mengelola stres dan interaksi sosial, yang apabila terintegrasi dengan potensi lainnya menjadikan Manusia sebagai Khalifah yang cerdas, bermoral, dan berempati.
Fenomena melemahnya olah hati pada Remaja menjadi perhatian serius dalam bimbingan dan konseling. Banyak Siswa kesulitan membedakan nilai baik dan buruk secara reflektif, kurang empati, serta minim motivasi intrinsik. Kondisi ini membuat Mereka cenderung reaktif, mudah terpengaruh, dan tidak bertanggung jawab secara moral. Hal ini terkait dengan dominasi sistem pendidikan yang masih menekankan LOTS (Lower Order Thinking Skills), yang lebih fokus pada hafalan dan jawaban tunggal, sehingga mengabaikan kedalaman nilai dan kesadaran batin.
Sebaliknya, HOTS (Higher Order Thinking Skills) menuntut analisis, sintesis, evaluasi, dan refleksi kritis yang seharusnya menyatu dengan nilai etis dan spiritual. Konseling berbasis Spiritual Reflektif dengan teknik Tafakkur dan Ta’aqqul ditawarkan sebagai solusi, karena mampu membawa Siswa merenungi makna hidup, mengaitkan realitas dengan nilai spiritual, serta mengembangkan kesadaran moral. Praktik seperti studi kasus moral, diskusi reflektif, dan Jurnal Pribadi dapat menjadi instrumen efektif untuk menumbuhkan integrasi akal dan hati.
Konseling Spiritual-Reflektif relevan untuk menjembatani LOTS menuju HOTS yang berakar pada nilai. Melalui perenungan, Siswa lebih tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengelola emosi, serta memiliki empati yang tinggi. Problem rendahnya HOTS tidak cukup diatasi dengan revisi kurikulum, melainkan harus menyediakan ruang kontemplatif dalam pendidikan. Konseling bukan hanya teknis, tetapi menyentuh spiritualitas siswa agar lahir manusia utuh dengan keseimbangan akal dan hati, logika dan nilai, sains dan spiritualitas.
Integrasi nilai spiritual dalam pengembangan Higher Order Thinking Skills (HOTS) menegaskan, kecerdasan intelektual harus berjalan seiring dengan kecerdasan moral dan spiritual. Tanpa landasan nilai, keterampilan berpikir kritis berisiko menjadi kering, pragmatis, bahkan manipulatif. Melalui konsep tafakkur dan ta’aqqul, HOTS diarahkan agar tidak hanya mendorong analisis dan evaluasi rasional, tetapi juga berlandaskan etika dan kesadaran religius. Dengan demikian, Siswa dilatih untuk melihat fenomena bukan sekadar dari sisi kognitif, melainkan juga dengan perenungan makna yang lebih dalam, sehingga keputusan yang diambil selaras dengan nilai kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan.
Selain itu, nilai-nilai spiritual seperti syukur, sabar, doa, dan refleksi diri memperkokoh dimensi afektif dalam pembelajaran HOTS. Nilai tersebut membentuk resiliensi, motivasi intrinsik, dan kesadaran tanggung jawab moral Siswa dalam menghadapi tantangan Akademik maupun sosial. Praktik integrasi ini dapat diwujudkan melalui diskusi reflektif, studi kasus berbasis nilai, hingga penulisan Jurnal spiritual yang menumbuhkan empati dan orientasi belajar yang bermakna. Dengan begitu, HOTS bukan hanya menjadi keterampilan berpikir tingkat tinggi, tetapi juga sarana pembentukan karakter yang menghasilkan Generasi Cerdas, berintegritas, dan berakhlak mulia.*****
