Olah Hati, Kemampuan Merasakan Nilai, Merenung, Membedakan Yang Benar dan Salah


Olah Hati, Kemampuan  Merasakan Nilai, Merenung, Membedakan Yang Benar dan Salah 

Pengembangan Model Konseling Kelompok Spiritual-Reflektif Berbasis Tafakkur dan Ta’aqqul

Banjarmasin, derapjurnalis.com - Perilaku menyimpang di kalangan remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) semakin menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. 

Dr H Jarkawi MMPd mengatakan, Guru dan Tenaga Pendidik kerap menghadapi Siswa yang menunjukkan tanda-tanda degradasi moral dan krisis nilai, seperti meningkatnya perundungan (bullying), munculnya intoleransi terhadap perbedaan, menurunnya empati sosial, dan kecenderungan untuk melakukan pelanggaran tata tertib sekolah (Muslich, 2022; Siregar, 2023; Utami & Ristianti, 2024). 

Tak jarang pula ditemukan Siswa yang mengalami kekosongan makna hidup, cemas berlebihan, dan ketergantungan pada validasi eksternal sebagai dasar harga diri. 

"Dalam banyak kasus, Siswa tampak mampu memenuhi tugas-tugas Akademik secara teknis, namun mengalami kegagalan dalam membentuk relasi sosial yang sehat, mengelola emosi, atau membuat keputusan yang mencermin-kan nilai-nilai moral internal," kata Jarkawi, dalam tulisannya yang diterima Sabtu (22/11/2025).

Fenomena ini menandakan terjadinya krisis dalam dimensi yang lebih dalam dari perkembangan manusia, yakni olah hati, kemampuan untuk merasakan nilai, merenung, membedakan yang benar dan salah berdasarkan suara hati, serta mengambil keputusan secara etis dan bertanggung jawab. 

"Olah hati bukan hanya tentang emosi, tetapi tentang bagaimana seseorang menyadari peran dirinya sebagai manusia yang utuh: makhluk spiritual, sosial, dan intelektual. Tanpa penguatan pada dimensi ini, potensi kognitif yang tinggipun akan kehilangan arah, karena tidak dibimbing oleh kompas nilai yang kuat," Jarkawi menambahkan.

Disebutkan, dalam konteks ini, berbagai kasus pelanggaran etika dan kekerasan yang terjadi di sekolah seharusnya tidak hanya dipandang sebagai masalah perilaku semata, melainkan sebagai indikator defisit dalam kesadaran batin (spiritual consciousness) Siswa. Ketika Siswa tidak mampu merenungkan akibat dari tindakannya atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkritisi dorongan egosentrisme dalam dirinya, maka pendekatan pembinaan yang hanya berfokus pada regulasi perilaku akan bersifat dangkal dan sementara. 

Dibutuhkan pendekatan yang mampu menyentuh kesadaran terdalam Siswa, yakni wilayah hati dan nurani Mereka.

Rendahnya kemampuan olah hati ini juga dapat dilihat dari lemahnya motivasi intrinsik siswa untuk berbuat baik tanpa adanya pengawasan atau tekanan dari luar. Banyak Siswa hanya bersikap baik ketika diawasi Guru atau Orang Tua, namun menunjukkan perilaku sebaliknya dalam lingkungan yang longgar pengawasan (Dita, 2023; Siregar, 2023; Yunita, 2024). Hal ini menunjukkan, nilai-nilai moral yang seharusnya tertanam dalam diri belum menjadi bagian dari kesadaran diri Siswa. 

"Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ketidakmampuan dalam olah hati ternyata berkorelasi erat dengan rendahnya kemampuan berpikir reflektif dan kritis Siswa," Jarkawi menegaskan. 

Berdasarkan hasil olah data Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, tampak mayoritas Siswa Indonesia masih berada dalam kategori Lower Order Thinking Skills (LOTS). Dalam kompetensi membaca, misalnya, sebanyak 74,5% siswa hanya mencapai Level 1 (dasar), 19,3% berada pada Level 2, dan hanya 0,8% yang berhasil menembus Level 4–6 yang mewakili Higher Order Thinking Skills (HOTS). Pola serupa juga terlihat pada kemampuan matematika dan sains, yang menegaskan bahwa lebih dari 99% Siswa belum mencapai tingkat kemampuan berpikir yang reflektif, kritis, dan analitis.

"Padahal, kemampuan berpikir tingkat tinggi ini bukan hanya menjadi indikator kecakapan Akademik, tetapi juga menjadi prasyarat bagi perkembangan moral dan spiritual Siswa," Jarkawi kembali menegaskan.

Dikatakan, Seseorang tidak bisa menjadi Pribadi yang bijak dan bertanggung jawab tanpa kemampuan untuk merenung, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan memahami nilai-nilai kehidupan dengan kedalaman. 

Oleh karena itu, tantangan pendidikan abad ke 21 bukan hanya mencetak Siswa yang cerdas secara kognitif, melainkan juga Siswa yang memiliki kecerdasan spiritual dan moral yang kuat.

Dalam situasi ini, Guru Bimbingan dan Konseling (BK) menjadi ujung tombak penting dalam upaya pembinaan siswa secara holistik. Selama ini, berbagai layanan telah dilakukan, seperti konseling individu, layanan klasikal, dan konseling kelompok. Namun, pendekatan yang digunakan seringkali masih bersifat prosedural, teknis, dan berorientasi pada penyelesaian masalah sesaat, tanpa menyentuh akar terdalam dari persoalan Siswa: yaitu keterputusan antara perilaku lahiriah dan kesadaran batin. 

Menurut Jarkawi, Guru BK kerap terjebak pada pendekatan yang terlalu rasional, padahal dinamika remaja sangat membutuhkan pendekatan yang menyentuh perenungan, kontemplasi, dan penyadaran nilai secara mendalam.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah riset menunjukkan, pendekatan konseling yang mengintegrasikan aspek spiritual mampu memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap pembentukan karakter Siswa. 

Berdasarkan hasil riset terkait, Siswa yang mengikuti konseling kelompok bermuatan Islami mengalami peningkatan signifikan dalam hal kesadaran diri, empati, dan pengendalian emosi (Saepulohm & Asiyah, 2022; Sari, 2022; Darmayanti, 2024). 

Lebih lanjut terungkap, pendekatan berbasis nilai-nilai keislaman dapat menumbuhkan komitmen moral Siswa dalam menghadapi tekanan sosial sebaya dan tantangan hidup remaja (Ermawita, et.al, 2023; Agustin & Hidayah, 2024; Purbaya, et.al, 2025). 

"Salah satu pendekatan yang menunjukkan potensi kuat dalam penguatan olah hati adalah integrasi teknik Tafakkur dan Ta’aqqul ke dalam praktik konseling kelompok," kata Jarkawi.

Dalam tradisi Islam, Tafakkurberarti perenungan mendalam terhadap ciptaan Allah, peristiwa hidup, dan realitas diri sendiri. Sementara ta’aqqul merupakan proses penggunaan akal secara sadar dan ruhani untuk memahami hikmah, mengambil pelajaran, dan membentuk pandangan hidup yang bermakna. Kedua pendekatan ini tidak hanya mendorong Siswa untuk berpikir kritis dan reflektif, tetapi juga untuk menghubungkan pikiran dengan hati, sehingga menghasilkan pemahaman yang tidak sekadar rasional, tetapi juga eksistensial dan spiritual.

Integrasi Tafakkur dan ta’aqqul dalam konseling kelompok mampu menciptakan ruang aman bagi Siswa untuk merenungi hidupnya secara jujur. Melalui bimbingan yang sistematis, Siswa diajak menyelami pengalaman pribadi, menghubungkannya dengan nilai-nilai spiritual, dan menemukan makna dari setiap peristiwa hidup yang Mereka alami. Dalam praktiknya, sesi konseling kelompok dapat dimulai dengan perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah (alam semesta), diikuti dengan diskusi reflektif atas pengalaman hidup masing-masing peserta, lalu diakhiri dengan penyusunan komitmen Pribadi yang didasarkan pada kesadaran ruhani.

Model konseling kelompok spiritual-reflektif ini juga sejalan dengan pendekatan transformasional dalam pendidikan, dimana proses pembelajaran tidak hanya dilihat sebagai transfer pengetahuan, tetapi sebagai proses perubahan kesadaran. Mezirow (Segers & De Greef, 2021) dalam teorinya tentang transformative learning menekankan pentingnya pengalaman reflektif sebagai cara untuk membongkar asumsi lama dan membangun cara pandang baru yang lebih bermakna. 

"Dalam konteks Islam, hal ini sejalan dengan proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang menjadi prasyarat bagi lahirnya akhlak mulia," ungkap Jarkawi. 

Pendekatan ini memiliki kekuatan kontekstual yang tinggi karena bersumber dari nilai-nilai agama yang sudah dikenali oleh Siswa. Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, penggunaan pendekatan berbasis tafaakur dan ta’aqqul memberikan rasa relevansi dan kedekatan makna yang lebih tinggi dibandingkan pendekatan barat yang kerap dirasa asing oleh siswa dan guru. Hal ini menjadi kekuatan tambahan bagi efektivitas program, karena siswa lebih mudah menerima dan menginternalisasi proses bimbingan sebagai bagian dari perjalanan spiritual pribadinya.

Meskipun pendekatan ini memiliki potensi besar, pelaksanaannya tetap harus dilakukan secara sistematis dan profesional. Diperlukan panduan yang jelas mengenai struktur sesi, teknik fasilitasi, alat ukur reflektif, serta integrasi ayat dan hadis yang mendukung.

"Guru BK perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip Tafakkur dan ta’aqqul, agar tidak hanya menyampaikan secara normatif, tetapi mampu membimbing proses reflektif secara mendalam dan kontekstual," pesan Jarkawi.

Dengan demikian, kata Jarkawi,  pengembangan model konseling kelompok spiritual-reflektif berbasis Tafakkur dan ta’aqqul bukan hanya menjawab kebutuhan intervensi jangka pendek, tetapi menjadi kontribusi jangka panjang dalam pembentukan karakter Siswa yang kuat secara spiritual, moral, dan sosial. Dalam dunia yang semakin kompleks dan serba cepat, Siswa memerlukan jangkar batin yang kokoh agar tidak hanyut dalam arus hedonisme, relativisme nilai, dan krisis identitas. Konseling berbasis refleksi spiritual adalah salah satu cara untuk menghadirkan kembali keheningan di tengah hiruk pikuk dunia modern, agar siswa dapat menemukan suara hatinya yang sejati.

"Penguatan olah hati melalui konseling spiritual-reflektif ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pembentukan manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia," Pesan Jarkawi lagi.

Oleh karena itu, sudah saatnya pendekatan ini tidak hanya menjadi inisiatif personal beberapa Guru, tetapi diarusutamakan dalam kebijakan pendidikan yang lebih luas, dengan pelatihan, pendampingan, dan evaluasi yang berkelanjutan. Pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang mampu menghubungkan pikiran, hati, dan tindakan dan dalam hal ini, konseling spiritual-reflektif menawarkan jalan yang menjanjikan.*****


Lebih baru Lebih lama