(Ambin Demokrasi) - derapjurnalis.com
Desa Bi’ih, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, dikenal penghasil durian. Nama Bi’ih sangat unik, sejumlah sumber di desa menceritakan, nama tersebut lahir secara tidak sengaja. Konon, dahulu ada orang yang membawa gadur, lalu karena jalannya licin, gadur tersebut jatuh, spontan mengatakan “biih”, ekspresi kekagetan yang tak disengaja.
Sekarang, Penduduk Desa Bi’ih juga kaget. Desanya yang semula aman damai, tetiba berbagai perusahaan tambang berdatangan ke desanya. Perusahaan tersebut ada yang legal, banyak pula yang ilegal. Yang legal, membawa berbagai perusahaan untuk turut menambang. Yang ilegal bekerjasama dengan yang legal, akhirnya tidak diketahui lagi, apakah legal atau ilegal. Pun keterlibatan aparat dan pemerintahan desa hingga kabupaten, membuat situasi semakin kusut, menjadikan kekagetan yang membelalakkan mata.
Bi’ih sebagai penghasil durian, sejak dahulu dikenal ke seantero. Entah sejak kapan dikenal sebagai penghasil durian. Menurut warga, sejak bahari kala ribuan jenis durian unggul ditanam di desa ini. Nama-nama duriannya pun begitu unik dan sebagian produk unggul sudah disertifikasi secara nasional. Ada nama durian sipenyangat, dibamban, sipenganten, gantang, tayut, taruna, guguling, siamas, dan puluhan nama lainnnya. Semua durian unggul tersebut merupakan bibit lokal dari desa Bi’ih yang sudah bersertifikat nasional. Tidak mudah mendapatkan sertifikat nasional, mesti melewati proses seleksi yang panjang, termasuk dengan melihat karakterisasi masing-masing jenis dari bibit durian tersebut.
Namun sekarang, panen durian sudah sangat langka. Sejak pertambangan datang mengepung desa, sejak debu batubara memenuhi ruang udara di desa dan kebun, bunga pada durian berjatuhan, gagal menjadi buah. Kalau pun ada yang menjadi buah, tidak banyak. Sudah jauh berkurang dari beberapa tahun yang lalu. Tanah kebun durian juga sangat jauh berkurang. Akibatnya, banyak bibit durian yang tidak menghasilkan lagi. Bibit yang sebelumnya unggul, berubah menjadi durian biasa dan bahkan tidak produktif.
Betapa ruginya desa Bi’ih dengan datangnya pertambangan. Kebun-kebun durian dan hasil kebun lainya yang telah menghidupi warga selama beratus tahun, seketika hilang akibat datangnya pertambangan.
Warga Desa tidak berdaya, dibujuk rayu, ditekan dan dipaksa, sehingga tidak ada pilihan kecuali menjual tanah secara murah kepada para makelar, kaki tangan Perusahaan tambang.
Bukan hanya ditekan para makelar, juga dipaksa oleh Aparat, Pejabat dan Orang-orang penting yang sangat dihormati. Dikira semua Pihak yang terhormat tersebut melindungi Warga Desa, nyatanya justru menyengsarakan dengan memberi restu datangnya tambang.
Warga mengalami dilema, karena sebagian sudah menjual tanah dan menjadi bagian dari makelar tanah. Sebagiannya lagi bertahan dengan penuh tekanan. Ada pula yang bimbang, tidak dapat menentukan apakah setuju atau tidak, namun dampak dari tambang terus menekan psikologi dan mental.
Antara mempertahankan durian dengan mempertahankan tambang, tentu suatu pertarungan yang tidak seimbang. Durian hanya didukung oleh masyarakat dengan sumber daya yang sangat terbatas, sementara pertambangan dimotori oleh para pemodal besar, yang dapat mengendalikan aparat serta birokrat.
Sekarang, durian Bi’ih dengan ribuan varitas yang begitu unik dan kaya, tinggal cerita. Setiap kali datang ke Desa Bi’ih, selalu saja cerita tragis, pilu penuh penyesalan, menyertai kenangan kejayaan durian masa silam.
Apa mau dikata, Penguasa Daerah lebih berpihak pada pertambangan dari pada durian. Ratusan hektar lahan-lahan kebun durian yang sebelumnya tangguh menahan banjir, sekarang gundul, penuh lubang, menjadi danau dan rentan terhadap banjir.*****
