Noorhalis Majid : "Ingin Maju, Tapi “Akal Manahi Punai?"

(Ambin Demokrasi)

Banjarmasin, derapjurnalis.com

Kebudayaan Banjar memberi nasehat, akal harus digunakan untuk memperbaiki kehidupan, sehingga tata kelola kehidupan ini dari waktu ke waktu berproses menjadi lebih baik. Bukan semakin buruk, apalagi semakin “camuh”.

Bukankah manusia diberi akal, agar benar-benar menjadi manusia yang memberi manfaat bagi  manusia lainnya, termasuk bagi lingkungan dan bagi seluruh alam semesta. 

Kalau akal yang sejatinya untuk kebaikan tersebut, justru digunakan untuk menipu, memanipulasi, mengakali agar tidak ketahuan, maka akal tersebut disetarakan dengan tahi punai. Lahirlah ungkapan “akal manahi punai”. 

Karena itu jangan curang, jangan licik. Jadilah orang baik, pelopor perubahan, yang menggunakan akal hanya untuk memberikan kemanfaatan bagi semua orang tanpa tanpa kecuali. 

Rupanya, banyak orang yang menggunakan akalnya justru untuk menipu  dan membodohi orang lain. Termasuk membodohi sistem, aturan main, ketentuan, dan segala yang sebenarnya sudah sangat baik. 

Sebagaimana pribahasa popular, “sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Bahwa segala kepintaran akal untuk memanipulasi aturan dan segala ketentuan, pada suatu waktu pasti akan ketahuan dan terbongkar. Bukankah sudah banyak yang ditangkap karena memanipulasi aturan dan sistem untuk kepentingan diri sendiri. Sepintar apapun mengakali aturan, nyatanya ketahuan juga. 

Kalau niat dan tabiatnya buruk, walau akalnya panjang, termasuk yang mengaku “akalan” akhirnya pasti berbuah masalah. Dampaknya menimbulkan kebencian kepada yang bersangkutan. Orang yang menggunakan akal untuk menipu dan memanipulasi, diejek dengan sangat hina oleh kebudayaan Banjar dengan ungkapan “akal manahi punai”.)

Akalnya serupa tahi burung punai. Burung yang tergolong jenis merpati ini, rupanya suka meninggalkan kotorannya di sembarang tempat. Karena sembarangan meninggalkan kotorannya, tentu ketahuan juga siapa pemilik kotoran, termasuk jejak persembunyiannya. Begitu pula orang yang menggunakan pikirannya untuk tindakan kejahatan, prilaku culas dan licik pada orang lain, pada akhirnya pasti ketahuan, bahkan bisa dibaca dengan sangat jelas.

Rupanya, dalam kehidupan ini banyak orang yang suka culas, menggunakan akal justru untuk melakukan tipu daya pada orang lain. Sifat culas, licik curang, tentu saja tidak baik. Contoh sederhana, sering dalam keseharian, seseorang yang berada pada satu Tim Kerja, ternyata tega membiarkan orang lain berpikir dan bekerja keras, sementara dia hanya berpangku tangan. Saat sudah berhasil dan dipuji, malah berada di barisan terdepan, menerima dan menikmati hasilnya. Tidak ikut berkeringat, tapi menikmati buah hasil kerja. 

Ungkapan ini memberikan nasehat agar jangan licik, menggunakan karunia akal pikiran hanya untuk mengakali orang lain. Akal jangan kotor seperti tahi burung punai. Pasti ketahuan, karena semua orang juga sangat mengerti, bisa membedakan mana yang benar-benar baik dan mana yang berpura-pura. 

Kalau sifat seperti ini dipelihara, alamat akan susah hidup di mana saja, sebab tidak pandai membawa diri. Bahkan boleh jadi dijauhi, karena orang tentu saja tidak ingin diakali, dibodohi. 

Sekali waktu mungkin bisa saja dapat menipu dan membodohi orang dengan akalnya yang licik, namun pasti menjadi pelajaran bagi yang bersangkutan, untuk tidak terperdaya dua kali. 

Lebih bagus memanfaatkan akal untuk menjadi orang baik. Bahkan kalau dimungkinkan menjadi pelopor, penggerak, pembawa perubahan. Memotivasi bahwa akal, sejatinya digunakan untuk kebaikan, bukan untuk tipu muslihat. Termasuk mengakali aturan dan sistem yang sudah baik. Teruslah berbuat baik, tidak licik, culas atau pun curang, jangan sampai akal manahi punai.*****

Lebih baru Lebih lama