Banjarmasin, derapjurnalis.com - Kenapa mendirikan rumah ibadah yang tujuannya sangat baik dan luhur karena dimaksudkan untuk memuliakan nama Tuhan, kok harus memenuhi syarat 90 penggunaan dan 60 pendukung? Sementara mendirikan bangunan lainnya yang tidak jelas kemuliaannya, justru tidak membutuhkan syarat sama sekali.
Apakah penolakan pendirian rumah ibadah wajah ketaatan menjalankan agama atau justru ketidaktoleranan? Semakin tinggi pengetahuan dan ilmu agama, apakah membuat seseorang semakin toleran atau sebaliknya intoleran?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali mengusik kesadaran, sebab tidak sedikit penolakan pendirian rumah ibadah justru dilakukan oleh orang yang sangat paham agama dan memiliki pengetahuan agama yang cukup. Bahkan syarat dan ketentuan pendirian rumah ibadah yang begitu ribet, menimbulkan pertanyaan tentang betapa sulitnya beragama dan berkeyakinan di negeri yang mengaku berketuhanan.
Buruknya komunikasi, sering kali dianggap sebagai penyebab munculnya penolakan, berbuah ketersinggungan. Namun anehnya, ketika komunikasi itu pun diperbaiki, tidak jarang penolakan tetap saja terjadi. Lantas apa sebabnya? mungkinkah intoleransi justru bersemayam dalam pikiran mayoritas warga? kalau iya, apa sebabnya? Kalau tidak, disebabkan oleh apa penolakan sampai terjadi?
Dialog dibuka yang diselenggarakan FKUB Kalimantan Selatan, Sabtu 2 Agustus 2025, di Resto Lima Rasa Banjarmasin, diawali dengan pengantar Ketua FKUB Kalimantan Selatan, M. Ilham Masykuri Hamdie, mengutarakan tentang masih banyaknya masalah menyangkut pendirian rumah ibadah. Sekalipun sudah ada aturan, namun penolakan selalu muncul, termasuk di Banjarmasin dan beberapa kabupaten di Kalimatan Selatan.
FKUB sendiri sudah melakukan kajian terhadap pendirian rumah ibadah ini, dan beberapa kali memediasi, agar permasalahan yang dihadapi dapat dibicarakan secara terbuka. Memang merujuk pada berbagai kasus di Indonesia, penyelesaiannya terletak pada ketegasan kepala daerah. Di Kota Bogor, setelah Walikotanya tegas untuk memberikan izin pendirian rumah ibadah kepada Gereja Yasmin, seketika masalahnya selesai. Sayangnya, banyak kepala daerah yang tidak mau mengambil resiko untuk tidak populer, sehingga menghindari berbeda pendapat dengan kelompok mayoritas, akhirnya kelompok minoritas yang bermaksud mendirikan rumah ibadah, terhambat, lanjut Ilham Masykuri Hamdie.
Pastor Ignatius Tari, MSF (Keuskupan Banjarmasin), selaku pembicara, menyampaikan hal-hal yang bersifat teologis, terutama pandangan umat Katolik menyangkut pendirian rumah ibadah. Bahwa pendirian rumah ibadah merupakan hak setiap umat beragama, hak tersebut tentu saja dibatasi oleh hak orang lain, sebab itu diperlukan aturan main agar semua hak tidak saling bertabrakan. Tujuan peraturan, untuk menjaga ketertiban umum. Sayangnya, karena Pemerintah juga berpolitik, akhirnya pendirian rumah ibadah juga dipolitisasi, saat dipolitisasi maka pendirian rumah ibadah menjadi hal yang rumit dan bermasalah.
Lebih lanjut Pastor Ignatius mengatakan, dalam ajaran Katolik ada ungkapan “nostra aetate”, bahwa Gereja menentang praktik hidup diskriminasi, sebab bertentangan dengan ajaran gereja Katolik itu sendiri.
Dialog menyangkut pendirian rumah ibadah, lahir dari kesulitan yg dihadapi secara bersama. Bukankah semua agama mengajarkan untuk bersikap baik, menghormati dan menghargai hak orang lain agar terpenuhi dengan baik. Tinggal pemahaman dari umat beragama yang harus ditingkatkan. Kalau semua agama memiliki pemahaman tidak mendiskriminasi orang lain, maka hidup akan damai. Bila faktanya masih terjadi diskriminasi, berarti ada persoalan menyangkut pemahaman beragama yang harus diperbaiki, kata Pastor Ignatius.
Kemudian ia merujuk pada dokumen Abudabi, dimana dalam dokumen tersebut telah dibangun kesepakatan oleh para pemuka agama, untuk saling menghargai bagi semua agama, bahkan saling bekerjasama untuk membangun perdamaian di muka bumi.
Jethro Daud Koamesakh, S.Pd (Aktivis Gereja Bethel Indonesia - GBI), yang juga menjadi narasumber, menyampaikan tentang ajaran Kristen tentang menghargai orang lain yang berbeda, dia mengutip satu firman, bahwa mengasihi Tuhan, sama halnya dengan mengasihi sesamanya.
Dia mempertanyakan soal banyaknya penolakan pendirian rumah ibadah yang terjadi, apakah ini benar masalah teologi? atau hanya masalah administratif? atau bahkan hanya masalah prasangka? atau sebenarnya ada masalah lain, tapi masalah apa? bukankah semua agama tidak mengajarkan kebencian, namun kenapa pendirian rumah ibadah yang jelas baik, sering dihalang-halangi?
Sementara itu, Dr. Wahyuddin, MA (Ketua Bidang Penelitian FKUB Kalimantan Selatan), menyampaikan hasil riset yang dia lakukan menyangkut pendirian rumah ibadah. Penolakan rumah ibadah, lebih sering karena faktor ideologi, atau cara pandang agama. Ada pula yang disebabkan eksistensi umat. Biasanya, penolakan dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas. Eksistensi mayoritas merasa terganggu, sehingga memunculkan sikap penolakan. Ada pula disebabkan ketakutan dalam soal penyiaran agama. Keberadaan agama orang lain dianggap ancaman, sehingga segala bentuk penyiaran, termasuk pendirian rumah ibadah sebagai sarana penyiaran, akhirnya juga ditolak.
Semua itu terjadi karena adanya sikap eksklusifisme, merasa diri lebih benar dari orang lain. Inginnya hanya dia saja yang boleh hidup, yang lain tidak boleh ada. Menolak segala bentuk perbedaan yang dianggap bertentangan dengan dirinya, apalagi menyangkut keimanan, sesuatu yang sangat mendasar, sehingga dengan pandangan eklusif maka tidak ada toleransi, kata Wahyuddin.
Sebab itu, diperlukan moderasi beragama, tujuannya untuk menjaga keseimbangan, penghormatan pada semua keyakinan, juga bagian dari pengamalan agama, karena agama mengajarkan untuk moderat - bersikap di tengah-tengah, tidak ekstrim. jadi moderasi pada dasarnya mencegah ekstremisme agama, karena ekstrimisme sangatlah berbahaya.
Secara normatif semua agama akan menghormati agama saudaranya yang lain, namun berbagai faktor sebagaimana disebutkan tadi, menyebabkan yang normatif tersebut tidak berjalan secara ideal. Karenanya diperlukan dialog, agar terbangun hubungan yang lebih dialogis, supaya terjadi konvergensi guna menemukan solusi yang lebih beradab.
Jangankan dalam soal rumah ibadah, tentang Tuhan saja kita berbeda-beda memandangnya, ada Tuhan dalam pandangan kognitif, Tuhan dalam realitas nyata, Tuhan yang ada dalam kitab suci. Karena berbeda, maka diperlukan dialog, sehingga bisa saling memahami satu sama lainnya, kata Wahyuddin.
Pada sesi tanya jawab, berbagai hal diajukan. Ada yang mengatakan bahwa dialog yang selama ini sudah dilakukan hanya menyentuh elit bukan masyarakat pada umumnya, sehingga soal sederhana saja tidak bisa mengambil sikap yang lebih bijak, sebenarnya mana yang lebih bermanfaat rumah ibadah ataukah hiburan malam? kenapa rumah ibadah yang tujuannya baik sulit sekali izinnya, sedangkan hiburan malam yang dapat menjerumuskan warga justru izinnya sangat mudah?
Ada pula yang mempertanyakan Surat Kesepakatan Bersama Menteri (SKBM), dianggap lebih banyak difungsikan sebagai pijakan alasan untuk menolak minoritas. Seandainya SKBM itu tidak ada, tentu akan terjadi musyawarah, dialog di antara warga, dan dengan itu mungkin akan ada solusi atau pun kearifan, seandainya saudaranya benar-benar memerlukan tempat ibadah. Kalau pun ditolak, lantas apa solusinya?
Ada juga peserta yang menyarankan agar pemerintah segera turun tangan dalam penyelesaian pendirian rumah ibadah. Jangan digantung, atau diabaikan saja, karena ini akan menjadi api dalam sekam, suatu waktu kekecewaan tersebut meledak menjadi satu aksi intoleransi. Bukankah kita semua ini saudara dari bapak yang sama, kenapa tidak saling bertoleransi?
Diusulkan untuk terus membangun literasi, agar warga paham soal toleransi dan pentingnya membangun kolaborasi, sehingga dapat berjalan bersama, membangun bersama, terwujud kehidupan yang damai, saling menjaga dan menghormati. (nm)