Dr. H. Muhammad Syaukani, ST, SH, M.Cs, M.Kom : "Moral Compensation: Ketika Peduli Palestina Hanya Jadi Tameng untuk Lari dari Rumah Tangga yang Dingin"



Banjarmasin, derapjurnalis.com


Di linimasa media sosial, kita melihatnya setiap hari: unggahan pilu tentang penderitaan rakyat Palestina, donasi yang dikumpulkan, dan seruan untuk solidaritas. Tapi, di balik layar yang penuh kepedulian itu, tak jarang tersembunyi sebuah paradoks: seorang yang getol menyuarakan kemanusiaan di dunia maya, justru abai terhadap kehangatan dan empati di dalam rumahnya sendiri. Inilah yang dalam psikologi sosial dikenal sebagai Moral Compensation – upaya tidak sadar untuk menutupi kekurangan moral di satu area dengan menumpuk “poin moral” di area lain.

Fenomena ini bagaikan topeng emosional. Seseorang mungkin tak menyadari bahwa kegigihannya membela isu kemanusiaan yang jauh, seperti konflik Palestina, sebenarnya adalah cara untuk mengompensasi rasa bersalah atau ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan emosional pasangan dan keluarga. Mereka berjuang menampilkan citra diri sebagai pribadi yang bermoral tinggi, penuh kasih, dan peduli pada sesama, tetapi gagal total dalam menerapkan nilai-nilai luhur yang sama itu kepada orang terdekatnya: suami atau istri.

Akibatnya, tercipta sebuah kontras yang menusuk. Di ruang publik, ia adalah pahlawan kemanusiaan yang dikagumi. Sementara di ruang privat, ia adalah pasangan yang dingin, tidak komunikatif, dan seringkali absen secara emosional. Perhatian yang seharusnya diarahkan untuk membangun keintiman dan menyelesaikan konflik domestik, justru tersedot habis untuk mengurusi drama kemanusiaan yang memberikan kepuasan instan berupa validasi dan pujian dari orang banyak.

“Padahal, ujian sejati dari empati justru terjadi di ruang paling kecil dan paling riil, yaitu keluarga,” kata seorang pengamat komunikasi keluarga. “Menunjukkan kasih sayang kepada orang asing di balik layar, dengan segala jarak dan keamanannya, jauh lebih mudah. Tantangan sesungguhnya adalah menumbuhkan kesabaran, mendengarkan keluh kesah pasangan setelah lelah bekerja, atau mengatasi perbedaan pendapat yang melelahkan. Itu membutuhkan konsistensi moral yang jauh lebih otentik.”

Dalam konteks ini, kepedulian publik yang dikobarkan tidak selalu menjadi cerminan dari kehangatan pribadi. Terkadang, ia justru berubah menjadi komoditas untuk mencari validasi sosial agar tampak “baik” di mata dunia. Aktivisme online menjadi semacam perisai moral yang menutupi kehampaan dalam hubungan yang seharusnya paling tulus dan bermakna.

Kesimpulan:

Bukan berarti kepedulian pada isu kemanusiaan seperti Palestina menjadi tidak penting. Justru, ia harus lahir dari fondasi moral yang kokoh dan konsisten. Jika kita benar-benar memahami arti kemanusiaan dan keadilan, maka nilai-nilai itu harus diterapkan pertama-tama di depan mata: kepada pasangan, anak, dan keluarga. Kebaikan yang sejati tidak memilih-milih audiens. Ia tidak bersorak di atas panggung dunia lalu diam dalam kesepian rumah tangga.

Mungkin, sebelum kita sibuk memperbaiki dunia, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: Sudahkah kita adil dan penuh kasih kepada orang yang berbagi bantal dengan kita setiap malam? Karena jika tidak, semua kepedulian kita di media sosial bisa jadi hanyalah pelarian yang megah dari tanggung jawab kita yang paling sederhana. (***)


Lebih baru Lebih lama