Noorhalis Majid : "Integritas, Mahkota Guru Besar"


Banjarmasin, derapjurnalis.com

 (Ambin Demokrasi)

Guru Besar, pasti bukan sekedar jabatan fungsional Akademik tertinggi bagi Dosen. Padanya tersirat kepakaran dan pengakuan atas karya ilmiah, peran serta kontribusi maksimal bagi Masyarakat luas. Tercermin teladan Akademik, bahkan menjadi Motivator, penggerak kemajuan ilmu pengetahuan, baik melalui pengajaran, penelitian serta keaktifan dalam penyebaran gagasan melalui tulisan.

Ki Hajar Dewantara, memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada Guru Besar, sebagai Orang yang harus diteladani, baik menyangkut cara bersikap, berprilaku, ataupun berpikir terhadap lingkungan dan Masyarakatnya.

Seorang Guru Besar, haruslah independent dari intervensi apapun, agar pendapat, pikiran dan tindakannya hanya berdasarkan keilmuan dan kepakarannya. Bukan karena tekanan apalagi pesanan. Karena itu, haruslah senantiasa mengembangkan kualifikasi keilmuan, agar sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman, ilmu dan teknologi.

Lantas, apa Mahkota Guru Besar? Karena Dia menjadi panutan, contoh dan teladan, tentu saja mahkotanya adalah integritas. Bahkan menurut Buya Hamka, bukan saja harus menjadi teladan, juga harus memiliki prinsip yang teguh, tidak mudah goyah oleh apapun. 

Bicara tentang integritas kepada Guru Besar, seperti menggarami lautan – “kaya bajual dapur ka Nagara,” dia pasti lebih ahli dan mumpuni dari siapapun. Karenanya, manakala Guru Besar masih bermasalah dalam soal integritas, seperti satu peringatan atau alarm keras, terkait hal sangat  mendasar yang sedang terjadi di Dunia Pendidikan dan Masyarakat berbudaya. 

Pepatah lama mengingatkan, “Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari”. Bila Guru besar masih bermasalah dalam soal integritas, bagaimana mungkin Sekolah dan Kampus dapat menanamkan nilai-nilai kejujuran, etika dan moral kepada segenap Murid? Bukankah integritas tidak cukup hanya dengan ceramah dan kata-kata. Diperlukan tauladan, contoh nyata yang dapat dilihat dan ditiru. Filosopi Jawa bahkan telah lama mengajarkan, seorang Guru harus digugu dan ditiru. Digugu berarti dipercaya, diyakini kebenarannya dan patut didengarkan;  sedangkan ditiru, sikap dan perbuatannya layak dicontoh karena mengandung ketinggian akhlak dan nilai luhur.

Tanpa mahkota integritas, Guru Besar tidak akan bermakna apapun. Bahkan lebih hina dari Manusia biasa yang tanpa ilmu. Sebab ternyata ketinggian ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, tidak menjadi pencerah dalam menuntun tindakan, sikap, kata-kata dan perbuatan. Harus diketahui, peradaban berduka, manakala Guru Besar ternyata integritasnya keropos. 

Lebih baru Lebih lama