Banjarmasin, derapjurnalis.com
(Ambin Demokrasi)
Jangan lupa pada kecurangan Pemilu atau pun Pilkada, sebab bila lupa, apalagi digoda untuk melupakannya, maka nanti kecurangan tersebut akan diulang kembali. Kecurangan yang terus diulang berulang kali, bisa berubah wujud menjadi kebenaran. Sebab terbiasa dengan kecurangan, dan kecurangan itu dimaklumi seiring waktu yang dipaksa berlalu.
Akibatnya sedahsyat apapun bentuk kecurangan, tidak pernah ada pembelajaran. Padahal kecurangan dalam Pemilu, merupakan wujud nyata dari penghianatan demokrasi.
Sudah menjadi permakluman, penyakit terparah manusia adalah mudah lupa pada sesuatu yang sudah terjadi. Termasuk lupa pada peristiwa yang sangat penting seperti Pemilu dan Pilkada.
Bagaimana mungkin bisa belajar memperbaiki kecurangan, kalau peristiwanya dilupakan dan disuruh lupa?
Sebab itu, agar suatu peristiwa tidak dilupakan, sejak zaman purba dibuat prasasti, monument atau tanda, sebagai pengingat bagi generasi ke generasi, tentang sesuatu yang dianggap penting dan tidak boleh dilupakan. Bila sesuatu bersifat buruk, pengingat tersebut mengandung pesan agar menjadi pembelajaran untuk tidak terulang kembali.
Sebagai warga yang taat hukum, tentu saja wajib menerima proses politik dan demokrasi prosedural yang panjang, hingga penetapan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Menerima, bukan berarti harus melupakan segala bentuk kecurangan yang sudah terjadi.
Menerima hasil proses hukum Pemilu atua Pilkada adalah satu bentuk kedewasaan berpolitik, namun mengingat dan tidak melupakan kecurangan, adalah wujud kecerdasan berdemokrasi.
Kalau tujuan demokrasi menginginkan pemilihan pemimpin dilakukan secara beradab, maka sekecil apapun bentuk kecurangan, haruslah menjadi bahan evaluasi serta perbaikan.
Untuk dapat mengevaluasi dan memperbaiki kecurangan, maka segala bentuk dan jenis kecurangannya mesti diingat, didokumentasikan, bila perlu diberi catatan dengan huruf tebal, bahwa suatu kecurangan pernah terjadi dan merupakan peristiwa memalukan.
Bukan sebaliknya, memusnahkan seluruh dokumen, catatan dan bukti kecurangan, lantas menyuruh melupakannya, agar tidak tercium dan dipelajari.
Sebab itu, kalau ada yang memilih tidak ingin melupakan kecurangan Pemilu atau Pilkada, jangan anggap hal tersebut tidak dewasa atau tidak move on. Sikap tersebut justru bagian dari kecerdasan berdemokrasi, agar segala prosesnya terus meningkat semakin beradab. (nm)