Banjarmasin, derapjurnalis.com
(Ambin Demokrasi)
Kenapa setiap kali membangun rumah Walikota Banjarmasin, selalu saja ada masalah? Apakah perencanaannya tidak matang? Apakah studi kelayakannya tidak dibuat? Apakah prosedur, tahapan dan izin dan syaratnya, tidak seperti membangun rumah pada umumnya?
Setidaknya, dua rumah Walikota yang sudah dibangun, yaitu di jalan Jafri Zamzam dan jalan Jenderal Sudirman, keduanya bermasalah oleh lahan.
Kenapa dengan lahannya? Bukankah lahan merupakan alas dasar dari bangunan, sehingga kepastian legalitas lahan harus jelas? Apakah sebelumnya tidak diteliti status lahannya? Apakah karena Pemerintah, lantas bebas saja mendirikan bangunan di lahan manapun, milik siapapun dan seberapa mahalpun harganya?
Di mana Lembaga Pengawas, Lembaga Kontrol, Lembaga Auditor Lahan dan Bangunan, dan Lembaga yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi atas segala bentuk kebijakan dan pembangunan? Ke mana Lembaga Penegak Hukum? Sudahkah semuanya berjalan secara transparan dan akuntabel?
Sebenarnya Pemerintah ingin membangun Rumah Walikota atau sekedar ada proyek pembangunan Rumah Walikota? Bukankah tujuan dibangunnya Rumah Walikota sebagai simbol Kepemimpinan, tempat pengambilan keputusan strategis, dan pusat kegiatan Pemerintahan yang mencerminkan integritas dan tanggung jawab. Wujud representasi Visi dan komitmen Pemerintah dalam melayani Warga dan menjalankan Pemerintahan yang transparan dan efisien. Berfungsi sebagai ruang aspirasi Warga, tempat interaksi antara Pemimpin dengan Warganya?
Kalau tujuan pembangunan Rumah Walikota seperti itu, sebagai representasi otoritas dalam melayani Warga, maka semewah dan sebagus apapun Rumah Walikota, tidak akan menimbulkan kecemburuan Warga, justru menjadi kebanggaan. Asal, Walikotanya mau menempatinya, dan menjadikan Rumah tersebut sebagai wahana interaksi antara Pemimpin dengan Warganya.
Justru kalau Pemimpin berada di Rumah Pribadinya, dan bukan di Rumah Dinas, maka antara ruang Publik dan ruang privat akan “takambuh”, bercampur baur menjadi satu. Akhirnya tidak transparan, tidak akuntabel dan tentu saja berjarak dengan Warga yang dilayaninya.
Konon dulu ada Pemimpin yang tidak berkenan tinggal di Rumah Dinas, dan memilih Rumah Pribadi sebagai Pusat aktivitas Jabatannya. Ternyata tujuannya bukan untuk mempermudah urusan, tapi sekedar memindahkan seluruh pembiayaan Rumah Dinas kepada Rumah Pribadinya, dan akhirnya terjadi konflik kepentingan.
Di zaman yang sudah begitu transparan seperti ini, dimana semua cerita misteri dapat didengar dari mana saja, maka misteri Rumah Walikota yang begitu tersembunyi, laksana menyimpan sampah busuk yang suatu waktu pasti tercium. (nm)